Minggu, 14 Februari 2010

SEJARAH AL - QUR'AN


Daftar isi
Pendahuluan
Kondisi Jazirah Arab Sebelum Al Qur’an diturunkan
A. Situasi Politik
B.Kehidupan di jazirah Arab
C. Suasana Keagamaan
Definisi Al Qur’an dan Wahyu
A. Definisi Al Qur’an
1. Pengertian Al Qur’an
2.Asal kata Al-qur’an
B. Definisi Wahyu
1. Pengertian Wahyu
2. perbedaan Al Qur’an dan hadits
Asbabun Nuzul
Pengertian
a. Ayat-ayat yang turun dengan didahului oleh suatu sebab
b. Ayat - ayat yang turun tanpa didahului suatu sebab
Sejarah turunnya Al Qura’an
Definisi Makkiyah dan Madaniyah
Ciri-ciri khas untuk surat Makkiyah
Kodifikasi Al Qur’an
dikalangan umat islam.
Mushaf non Utsmani .
A. Mushaf primer dan sekunder
B. Mushaf Ubay ibn Ka’b.
C. Mushaf Ibn Mas’ud
D. Mushaf Abu Musa al-As’ari
E. Mushaf ibn Abbas
Penyempurnaan Ortografi Al Qur’an
A. Karakteristik Ortografi Utsmani
B. Latar belakang penyempurnaan Rasm Al Qur’an
C. Penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Unifikasi Bacaan AL Qur’an
A. Asal Usul keragaman Bacaan Al Quran
B. Unifikasi Bacaan Al Qur’an



AL QUR’AN
Pendahuluan
Al-Quran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacriticalmarks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (thn 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, perbedaan itu hanya berdasarkan perbedaan dialek antara suku-suku Arab, sehingga tidak merubah Substansi dari Al Qur’an itu sendiri.
Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (thn 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Tetapi keyakinan tersebut berhasil dipatahkan oleh Khlaifah Ustman dengan mengutip hadist Nabi : “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan bismillah maka pekerjaannya menjadi sia-sia.” Kat-kata Bismillah memang menjadi pembuka ayat dalam surat Al Fatihah.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Alasan tersebut dimungkinkan untuk penyeragaman dialek dan bacaan Al Qur’an serta susunan Ayat yang menurut mushaf-Mushaf lainnya tidak teratur,dan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, dan untuk menertibkan dialeg , susunan surat serta tanda baca yang berbeda maka pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).

Kondisi Jazirah Arab Sebelum Al Qur’an diturunkan

A. Situasi Politik
Jazirah arab terletak sangat terisolasi baik dari sisi daratan maupun lautan, di kawasan inilah Nabi Muhammad memperjuangkan risalah-ridalah ilahinya, perselisihan yang membawa peperangan dalam sekala besar-besaran di setepa-setepa jazirah tersebut, Arabia mwrupakan kawasan yang kecil, meskipun memiliki posisi yang cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasan politik di timur tengah, yang ketika itu di domisi oleh imperium raksasa Bizantium dan Persia.
Wilayah kekuasan Bizantium/Romawi timur yang beribukota di Konstatinopel pada abad ke 7 sudah ,meliputi sebgian Asia, Siria, Mesir dan bagian tenggara Eropa, musuh besar Bizantium dalam perebutan kekuasaan di timur tegah adalah Persia,yang mana wilayah kekuasaannya terbengtang dari irak dan mosopotamia hingga pedalaman timur iran hingga afganistan, ibu kota imprium ini adalah al-mada’in terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota Baghdad,perebutan kekuasam ke dua imprium adidaya di atas nemiliki pengaruh yang nyata terhadap situasi politik di Arabia ketika itu kira-kira pada tahun 521 M. kerajaan kriaten abisinia dengan dukungan penuh Bizantium menyerbu daratan tinggi yaman yang subur di barat daya Arabia, memandang serbuan tersebut sebagai ancaman terhadap kekuasaanya, dzunnuwas, penguasa Arabia selatan yang pro Persia, bereaksi dengan nenbantai orang-orang Kristen najran yang menolak memeluk agana yahudi, yang akhirnya pada tahun 525 dzunnuwas berhasil di gulingkan dari tahtanya melalui penyerangan yang di lakukan orang-orang abisinia, tetapi sekitar 575 daratan tinggi yaman berhasil di kuasai Persia, peristiwa ini memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruh jazirah arab.
Menjelamg lahirnya nabi Muhammad penguasa Abisinia Abrahah melakukan infasi kemekah, tetapi gagal menaklukkan kota tersebut lantaran karena terkena malapetaka yang begitu dahsyat, yang di kisahkan dalam al-qur’an surat 105, pada perinsipnya penyerbuan tersebut memiliki tujuan yang secera sepenuhnya berada dalam kerangka politik inter nasional ketika itu,yaitu upaya bizantiom untuk menyatukan suku-suku arab supaya berada di bawah pengaruhnya guna menantang Persia, sementara sejarawan muslim menambahkan tujuan lain untuknya.Menurut mereka panyerangan teraebut di maksid untuk menyerang ka’bah, dalam rangka menjadikan gereja megah di san’a yang di bangun abrahah sebagai pusat ziarah keagamaan di Arabia, ini adalah sebagian contoh kecil masalah perebutan kekuasaan dan situasi politik yang berkembang pada masa itu.

B.Kehidupan di jazirah Arab
Tanah air petama islam, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur, sementara tanah air yang ke duanya, Yatsrib yang lebih kita kenal dengan Madinah adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga.kira-kira pada penghujung abad yang ke-6 para pedagang besar kota mekkah telah menguasai perniagaan yang lewat bolak-balik dari pingran pesisir barat Arabia ke laut tengah yang biasanya kafilah-kafilah dagang tersebut pergi ke selatan ( yaman ) di musim dingin dan ke utara di musim panas (syiria) di tangan kafilah-kafilah inilah, orang-orang mekah melakukan eksistensinya yang asasi. Di lembah kota mekah yang tandus,pertanian dan perternakan adalah impian indah disiang bolong, kota ini bergantung pada import bahan makanan, karna itu kehidupan ekonominya yang khas adalah di bidang perniagaan, dan kemungkinan besar hanya bersifat moneter.

Namun di tengah-tengah masyarakat niaga ini,sebagai mana halnya dalam nasyarakat-masyarakat niaga pada umumnya, muncul masalah-masalah ketidak seimbangan dan pergolakan sosial seperti tukar-menukar dan timbang-menimbang yang tidak sesuai dengan ketentuan serta praktek riba yang menjadi fenomena umum, yang mana akan memperlebar kesenjangan sosial yang mengakibatkan banyaknya penindasan kepada yang lemah dan neraka perbudakan,yang mana mereka menganggap kehidupan hanyalah didunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kecuali masa seperti yang diterangkan dalam Al Quran 45 : 24 dan mereka berkeyakinan bahwa kita sama sekali tidak dibangkitkan.
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir, untuk menghadapi musuh dan tolong menolong melawan keganasan alam, orang – orang Arab menyatukan dirinya dalam kelompok – kelompok yag biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kesetiakawanan kesukuan merupakan persyatan mutlak dalam kehupan liar di padang pasir, tanpa suatu tarap solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapapun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi. Dalam taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang berpihak secara membabi buta kepada saudara – saudara sesukunya tanpa peduli apakah mereka keliru apa benar.
Secara politik Nabi Muhammad terlihat telah menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan didalam masyarakat kota Makkah, khususnya pada tahun – tahun pertama aktivitas kenabiannya. Beliau bisa bertahan hidup dikota ini sekalipun dalam posisi yang sangat keras. Kerena beliau berasal dari bani Hasyim, yaitu suatu klan yang relatif cukup kuat maka kehidupan beliau ada yang melindunginya, sekalipun banyak yang tidak setuju dengan Agama barunya. Tapi kemudian Nabi melakukan hijrah setelah klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa kepemimpinan Abu lahab, barangkali inilah yang melatar belakangi kecaman keras Al Quran terhadapnya ( 111 : 1 – 5 ).
Ini adalah sebagian kecil dari kisah sejarah Arab pada masa lampau sebelum diutusnya Rosulullah. Kalau kita telusuri kisah-kisah diatas tentunya kiya dapat menyimpulkan betapa besarnya jasa beliau Rosulullah didalam mengehtaskan moral-moral dan keyakinan mereka menuju suatu kehidupan yang agamis

C. Suasana Keagamaan
Disekitar Madinah, Taimak, Fadak, Khoibar, Wadil quro serta Yaman terdapat sejumlah pemukiman Yahudi. Keberadaan orang – orang yahudi di Arabia bisa ditelusuri mulai abad pertama masehi. Penaklukan Yerussalem oleh kaisar Titus ( sekitar 70 M ) serta penumpasan pemberontakan Bar Kocbha ( sekitar 135 M ) barangkali inilah telah membuat orang – orang Yahudi di kota tersebut terpaksa meninggalkan negerinya untuk mengembara dan kemudian menetap di Arabia. Alfred Guillaume menyebutkan 6 kota arab yaitu Hijjr, Ula, Taimak, Khoibar, Thaif dan Madianah yang menjadi tempat pemuikiman Yahudi. Kota Makkah tidak dimasuki, karena merupakan pusat penyembahan berhala. Sekalipun demikian, orang –orang Quraisy mengenal dengan baik agama Yahudi, karena kota itu berada di jalur perniagaan Yaman dan Syiria.
Agama kristen memiliki sejumlah pengikut dari orang badui yang tinggal di dekat perbatasan Syiria dan di Yaman khususnya ketika negeri ini berada dibawah kekuasaan Abesinia. Di Makkah sendiri ada sejumlah individu terpencil seperti Waraqah Ibnu Naufal, sepupu istri pertama nabi Muhammad ( Khodijah ) yang menjadi pengikut kristus. Meskipun ada individu – individu tertentu dari kalangan pemeluk agama Yahudi dan kristen di Arabia yang telah menerima ajaran –ajaran agama mereka secara sistematis. Belakangan sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad, dan sebagian lagi tidak. Kebanyakan orang arab yang mengikuti kedua agama ini memiliki penetahuan yang kacau balau tentang agamanya, sebagian pribumi Arab yang beraganma Yahudi, misalnya, tidak mengetahui alkitab (Taurot) kecuali hayalan belaka dan mereka hanya menduga – duga ( 2 : 78 ) bahkan AlQuran mentamsilkan orang – orang yahudi yang memiliki Taurot tetapi tidak memperoleh manfaat darinya sebagai keledai yang dibebeni kitab ( 62 : 5 ). Dikatakan bahwa orang – orang yahudi, sebagaiman halnya orang – orang kristen, telah menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai arbab ( bentuk jamak dari rabb, “tuhan” ) selain Allah ( 9: 31 ). Juga terdapat kepercayaan yang berkembang dikalangan yahudi arab bahwa Nabi Uzair adalah putra Allah ( 9 : 30 ).
Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya adalah politeisme. Sekalipun kebanyakan orang Arab mengakui dan menerima gagasan tentang Allah sebagao pencipta alam, tetapi menyembahan aktual mereka pada faktanya ditunjukkan kepada tuhan-tuhan lain yang di pandang sebagai perantara-perantara kepada Allah. Namun dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap tersebut. Ketika dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan tuhan dengan ketulusan yang sangat. Tetapi, setelah lepas dari mara bahaya, mereka melupakannya dan kembali menyekutukan Tuhan.

Definisi Al Qur’an dan Wahyu

A. Definisi Al Qur’an
1. Pengertian Al Qur’an
Beberapa definisi tentang al-qur’an telah di kemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang bahasa, Ilmu kalam, ushul fiqh dan sebagainya.Definisi-definisi itu sudah tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena stressing (penekanannya) berbeda-beda, disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Sehubungan dengan itu, Dr. Subhi al-salih merumuskan definisi al-qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama,terutama ahli bahasa,ahli fiqh dan ahli ushul fiqh. Sebagai berikut:
Al Quran adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf – mushaf, yang di nukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah.

2.Asal kata Al-qur’an
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Al-qur’an. Di antaranya:
a. Al-Syafi’I salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204.H.) berpendapat, bahwa kata Al-qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-quran,bukan Al-qur’an) dan tidak diambil dari kata lain.Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang di berikan kepada Nabi muhammad,sebagaimana nama injil dan taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masung kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
b. Al-farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab ma’nil qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat Al-qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Lihyani,seorang ahli bahasa (wafat 215 .H.) berpendapat, bahwa lafadz Al-qur’an itu berhamzah,bentuknya masdar dan diambil dari kata قراء ,yang artinya membaca.hanya saja lafadz Al-qur’an ini menurut Al-Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul, jadi Al-qur-an artinya maqru’ (dibaca).
d. Dr.Subhi Al-Salih, pengarang kitab mabahist fi ulumil qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafadz Al-qur’an itu masdar dan sinonim (murodif) dengan lafadz qiro’ah, sebagaimana dalam surat Al-Qiyamah ayat 17-18. ان علينا جمعه وقرانه فاذاقرأناه فاتبع قرانه

B. Definisi Wahyu
1. Pengertian Wahyu
Wahyu menurut bahasa ialah memberikan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat sedangkan menurut pengertian agama, wahyu adalah pemberitahuan tuhan kepada nabinya tentang hukum-hukum tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada nabi / rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah dari Allah sendiri. Sesuai dengan ayat 51 dari surat Al-Surra.
Berdasarkan atas ayat tersebut maka wahyu itu ada tiga macam:
1. pemberitahuan tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan termasuk mimpi yang tepat dan benar, misalnya habi Ibrahim diperintah melalui mimpi menyembelih puteranya (Ismail). Peristiwa ini diungkapkan oleh Allah dalam surat Al- Shofat ayat 102.
2. Mendegar firman Allah dibalik ta’bir, seperti yang dialami nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabianya. Peristiwa ini disebutkan dalam surat Thaha ayat 11-13. Demikian pula peristiwa mi’raj nabi Muhammad, dimana nabi menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk mendirukan shalat lima waktu
3. Penyampaian waktu (amanat) tuhan dengan perantaraan Jibril As .Ini ada dua macam :
a. Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s.
b. Nabi tidak melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar suaranya seperti suara lebah atau gemrincing bel.
2. perbedaan Al Qur’an dan hadits
Menurut At Thibi : Al Quran adalah lafazd yang diturunkan oleh malaikat jibril dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun hadits Qudsi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau mimpi, kemudian Nabi memberitahukankepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits - hadits yang lain tidak disandarakan kepada Allah dan tidak diriwayatkan dari Allah.

Asbabun Nuzul
Pengertian
Asbabun Nuzul adalah “Semua yang disebabkan olehnya diturunkan oleh suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada sa’at terjaddi peristiwa itu “.
Fakta sejarah menunjukan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-qur’an itu ada dua macam yaitu :
1. Turunnya dengan didahului oleh suatu sebab.
2. Turunnya tidak didahului oleh suatu sebab.
a. Ayat-ayat yang turun dengan didahului oleh suatu sebab

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( Qs : Al Baqarah ; 221)
Turunnya ayat ini adalah karena ada peristiwa sebagai berikut :
Nabi mengutus Murtsid al-Ghanawi kemekah untuk tugas mengeluarkan orang-orang islam yang lemah. Setelah dia sampai disana,dia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik dan kaya, tetapidia menolak, karena takut kepada Allah. Kemudian wanita tersebut datang lagi dan minta agar dikawini. Murtsid pada perinsipnya dapat menerimanya, tetapi dengan syarat setelah mendapat persetujuan dari Nabi. Setelah dia kembali ke madinah, dia menerangkan kasus yang dihadapi dan minta izin kepada Nabi untuk menikah dengan wanita itu. Maka turunlah surat Al-Baqarah : 211.
Contoh ayat-ayat yang turun karena ada pertanyaan yang diajukan kepada Nabi, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 21


Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (136) dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir ( Qs ; Al Baqarah : 211)
b. Ayat - ayat yang turun tanpa didahului suatu sebab
ayat - ayat semacam ini banyak terdapat dalam Al Quran, sedangkan jumlahnya lebih banyak daripada ayat ayat hukum yang mempunyai asbabun nuzul. Misalnya ayat ayat yang mengisahkan tentang umat – umat terdahulu beserta para nabinya.
Namun demikian, ada juga ayat – ayat tentang kisah ang diturunkan karena ada sebab misalnya surat yusuf seluruhnya adalah ada keinginan yang serius dari para sahabat yang disampaikan kepada nabi, agar nabi berkenan bercerita yang mengandung pelajaran dan peringatan. Adapun sahabat yang menceritakan latar belakang turunnya ayat- ayat dari surat yusuf (1 – 3) adalah Saad Bin Abi Waqash.
Sejarah turunnya Al Qura’an
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari surat atau berupa surat yang pendek secara lengkap. Adapun penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan, memakan waktu lebih kurang 23 tahun, ya’ni 13 tahun ketika Nabi masih tinggal di Makkah sebelum hijrah dan 10 tahun ketika Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu Illahi yang diturunkan sebelum hijrah, disebut surat / ayat Makiyah yang merupakan 19/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek,sedang bahasanya singkat, karena sasaran yang pertama pada periode Makkah ini adalah orang-orang Arab asli ( suka Quraisy dan suku-suku Arab lainnya ), yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai ini surat Makiyah pada umumnya, berupa ajakan (seruan ) untuk bertauhid yang murni juga tentang pembinaan mental dan ahlak.
Adapun wahyu Illahi yang diturunkan sesudah hijroh, disebut surat / ayat Madaniyah,dan merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan jaga non-Arab dari berbagai bangsa, yang telah mulai banyak masuk islam dan sudah tentu mereka kurang menguasai bahasa Arab Mengenai isi surat-surat / ayat-ayat Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hokum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat islam dan negara yang adil dan makmur.
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam qadar tanggal 17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 610 M.( perhatikan surat Al-Qadar,1 Al-Dukhan ;3 Al-Anfal;41 Al-Baqarah ;185 ).
Wahyu yang pertama kali duterima oleh Nabi ialah ayat 1-s/d 5 surat Al-Alaq, pada waktu Nabi berada di goa hira, sedangkan wahyu yang terakhir diterima Nabi adalah surat Al-Maidah ;3 pada waktu Nabi sedang melakukan wukquf diArafah melakukan haji wada'

Makkiyah dan Madaniyah
Definisi Makkiyah dan Madaniyah
Makkiyah ialah surat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya diluar Makkah, sedangkan Madaniyah ialah surat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah meskipun turunnya di Makkah. Definisi ini adalah yang masyhur di kalangan ulama, karena mengandung pembagian Makkiyah dan Madaniyah secara tepat dan safe. Menurut definisi ini, maka surat Al- Maidah ayat 4 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah pada hari jum’at, ketika Nabi melakukan haji wada.Demikian pula surat Al-Nisa ayat 58; adalah madaniyah, sekalipun diturunkan di Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah.

Ciri-ciri khas untuk surat Makkiyah
Ada beberapa ciri khas bagi surat Makkiyah, tetapi hanya bersifat Aghlabi yaitu :
1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak.
2. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari qiamat dan menggambarkan surga dan neraka.
3. Mengajak manusia untuk berahlaq mulia dan berjalan dijalan yamg benar.
4. Membantah orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan kepercayaan dan perbuatannya.
5. Terdapat banyak lafadz sumpah.
Adapun cirri-ciri khas yang bersifat Aghlabi untuk Madaniyah antara lain adalah:
1. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang,sebagian ayat-ayatnyapun panjang dan gaya bahasanyapun cukup jelas didalam menerangkan hokum-hukum agama.
2. Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukan hakikat-hakIkat keagamaan.

Kodifikasi Al Qur’an
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an telah dimulai sejak turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana daketahui, Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Setiap Nabi menerima wahyu, Nabi SAW lalu membacakan dihadapan para sahabat karena beliau memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur;an kepada mereka ( Q.S.16:44 ). Di samping menyuruh sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi juga memerintahkan sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya diatas pelepah-pelepah kurma,lempengan batu dan kepingan tulang.Sahabat yang pandai menulis juga sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat. Hal ini didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang harus dijadikan pedoman hidup,sehingga perlu dajaga dangan baik.
Setelah ayat-ayat yang di turunkan cukup satu surat, Nabi memberi nama surat tersebut untuk membedakannya dari surat yang lain. Nabi juga memberi petunjuk tentang urutan panempatan suratnya. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi.Untuk menjaga kemurnian Al Qur’an, setiap tahun malaikat Jibril datang kepada Nabi untuk memeriksa bacaannya. Kemudian juga Nabi juga melakukan hal yang sama kepada sahabat-sahabatnya, sehingga dengan demikian terpeliharalah Al Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.
Rasullah tidak pernah menulis Al Qur’an karena beliau tidak pandai menulis dan membaca tetapi beliau sangat kuat untuk mendorong sahabat – sahabatnya untuk belajar baca tulis. Para tawanan perang badar yang pandai menulis oleh Rasulullah di minta untuk mengajar masyarakat sebagi tebusan kemerdekaan diri mereka. Selain itu, juga telah ada beberapa sahabat yang pandai baca tulis jauh sebelum mereka masuk islam. Sahabat – sahabat yang telah pandai baca tulis jauh sebelum mereka masuk islam sahabat – sahabat inilah yang aktif menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu, para penulis itupun segera dipanggil untuk menulis dan mencatatnya disamping sahabat – sahabat yang menghafalnya.
Setelah hijrah kemadinah,. Nabi memiliki juru tulis khusus. Menurut M.M. Azmi (ahli sejarah) dalam bukunya, kitab an-nabi ada sejumlah 48 orang sahabat penulis Al Qur’an. Diantara mereka yang paling terkenal ialah Zaid Bin Tsabit. Sebelum rasulullah wafat, Al Qur’an secara keseluruhan telah selesai penulisannya dengan urutan surat – surat dan ayat – ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah sendiri. Penulisannya dimasa itu masih menggunakan alat – alat yang sangat sederhana, seperti pelepah kurma, kepingan tulang, dan lempengan – lempengan batu, sehingga sulit dihimpun dalam satu kumpulan.
Setelah Rasulullah wafat dan Abu bakar dipilih menjadi kholifah. Tulisan-tulisan Al Qur’an yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma,tulang dan batu-batuan tetap disimpan dirumah Rasulullah sampai terjadinya perang yamamah yang meranggut korban kurang lebih tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an, kemudian timbul kekhatiran dikalangan sohabat akan terjadimya perang lagi, yang akhirnya menyababkan hilangnya Al Qur’an. Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun surat-surat dan ayat-ayat yang masih berserakan itu kedalam satu mushaf.
Pada mulanya abu Bakar berat menerima usulan umar karena pekerjaan seperti itu belum pernah dikerjakan oleh rasulullah. Setelah umar meyakinkan abu bakar bahwa pekerjaan pengumpulan alquran semata – mata unutk memelihara kelestarian alquran, barulah ia menyetujuinya. Abu Bakar lalu memerintahkan Zaid Bin Tsabit untuk memimpin tugas pengumpulan ini dengan dibantu oleh ubay bin kaab, ali bin abi thalib utasman bin affan dan beberapa sahabat lainnya. Meskipun Zaid Bin tsabit seorang penghafal Al Quran dan banyak menuliskan ayat – ayat di masa Nabi, ia tetap sangat berhati – hati dalam melakukan pengumpulan ayat – ayat alquran itu. Didalam usaha pengumpulan ini Zaid Bin Tsabit berpegang pada tulisan – tulisan yang tersimpan di rumah rasulullah, hafalan – hafalan dari sahabat, dan naskah –naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk mereka sendiri. Zaid bin Tsabit menghimpun surat – surat dan ayat – ayat Al Qur’an sesuai dengan petunjuk Rasulullah sebelum beliau wafat dan menulisnya atas lembaran –lembaran kertas yang disebut suhuf.
Ketika Umar menjabat khalifah mushaf itupun berada pada pengawasannya. Setelah umar wafat, mushaf ini disimpan dirumah Hafsah.
Pada masa kholifah Usman bin Affan ,timbul perbedaan pendapat dikalangan umat islam mengenai qira’ah, karena dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan, kemudian Hudaifah mengusulkan kepada kholifah Ustman agar menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan membuat mushaf Al Qur’an standar yang kelak akan dijadakan pegangan bagi seluruh umat islam. Menanggapi usul Hudaifah, lalu Usman msmbentuk panitia yang terdiri atas Zaid bin sabit sebagai ketua dan anggota-anggotanya adalah Abdullah bin zuber ,Sa’ad bin As, dan Abdurrahman bin haris. Kemudian Usman meminjam mushaf yang di simpan dirumah Hafsah,dan memberikannya kepada panitia yang telah terbentuk. Setelah tugas panitia selesai,Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada hafsah. Al-Qur’an yang telah disalin dengan dialek yang seragam di masa Utsman itulah yang disebut mushaf Utsmani.
Usaha kodifikasi Al Qur’an dimasa Utsman membawa beberapa keberuntungan antara lain sebagai berikut;
1. menyatukan umat islam yang berselisih dalam masalah Qiraah
2. menyeragamkan dialek bacaan AL Qur’an.
3. menyatukan tertib susunan surat – surat menurut tertib urut seperti dlam mushaf – mushaf yang di jumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Utsman keberbagai propinsi islam pada saat itu mendapat sambutan yang positif dikalangan umat islam. Mereka menyalin dan memperbanyak mushaf itu dengan sangat hati – hati.
Bentuk Mushaf utsmani tulisan Al Qur’an masih memakai huruf – huruf khufi (huruf huruf yang berbentuk garis lurus tanpa titik dan baris). Namun hal ini tidak mempengaruhi bacaan Al Qur’an karena umumnya sahabat adalah orang – orang yang fasih dalam bahasa arab, bahkan kebanyakan mereka membaca Al Qur’an dengan lancar. Akan tetapi setelah banyak orang – orang non arab memeluk islam, timbul kesulitan besar dalam membaca tulisan Al Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, maka pembacaanya banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda – tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut –larut, dikhawatirkan akan timbul kekacauan dikalangan umat islam.

Mushaf non Utsmani .
A. Mushaf primer dan sekunder
Telah di kemukakn eksistensi sejumlah kodifikasi tertulis al-Qur’an yang pengumpulannya diupayakan secara sadar oleh sejumlah sahabat Nabi.Kumpulan-kumpulan tertulis ini telah mempengaruhi kumpulan-kumpulan al-Qur’an yang diupayakan generasi berikutnya. Sebelum Ustman ibn Affan melakukan penyeragaman teka al-Qur’an pada masa kekhalifahannya. ketika Ustman melakukan unifikasi teks, capian-capian para sahabat Nabi dan generasi berikutnya ini tetap eksis melalui tranmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi serta di rekam dalam sumber-sumber awal sebagai variandiluar teks Ustmani, atau sebagai mushaf-mushaf pra Usmani.
Pada abad ke 4H/10 beberapa sarjana muslim melakukan kajian khusus tentang fenomena Mashahif ini. Kajian paling terkenal adalah yang dilakukan ibn al-Anbari (w. 940), mendahului karya ibn Mujahid(w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitab al-Mashahif yang disusun al-Anbari itu lenyap di telan masa, dan hanya di temukan bekasnya dalam kutipan-kutipan yang dibuat sarjana muslim belakangan, seperti dalam karya al-Syuyuti. Satu-satunya karya dari masa ini yang sampai ketangan kita adalah yang di susun ibn Abi Dawud (w. 316), kitab al-masahif. Kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya dibandingkan kitab-kitab lainnya dari masa tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan mushaf primer adalah mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi. Dan itu ada 15 kodeks diantaranya :
a. Mushaf ubay bin Ka’ab.
b. Mushaf ibn Mas’ud.
c. Mushaf Zaid ibn Tsabit.
d. Mushaf ibn Abbas dll.
Sementara Mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada mushaf primer serta mencerminkan tradisi bacaan kata-kota besar islam,sementara mushaf sekunder ada 13 kodeks diantaranya :
a. Mushaf Said ibn Zubair.
b. Mushaf al-Aswad ibn Yazid.
c. Mushaf Mujahid’
Mushaf-mushaf perimer ini, Sebagaimana telah diungkapkan, menunjukkan upaya yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi dan sepeninggalannya, sebelum eksis mushaf Ustmani. Sementar mushaf sekunder lebih memperlihatkan pengaruh mushaf-mushaf primer dan meruoakan cerminan dari tradisi bacaan al-Qur’an di kota-kota metropolitan Islam. Di samping itu, sebagian mushaf kategori ini muncul dikalangan generasi ke dua islam, setelah adanya pengumpulan al-Qur’an yang di lakukan pada masa khalifah ke tiga.
Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer, mayoritas nama yang di pandang memiliki mushaf dalam skema di atas sejalan dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang mengumpulkan al-Qur’an di masa Nabi atau setelah wafatnya. Sekalipun demikian, hanya jumlah kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang berhasil menanamkan pengaruh yang luas di dalam masyarakat Islam. Dalam waktu tenggang 20 tahun, mulai dari wafatnya Nabi sampai pengumpulan al-Qur’an di masa ustman, hanya sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memaparkan pengaruhnya dikalangan masyarakat. Asal muasal pengaruh ini tentunya pulang kepada individu-individu yang dengan nama mushaf itu di kenal. Keempat sahabat Nabi yang di maksud di sini adalah : (i) Ubay ibn Ka’b yang kumpulan al-Qur’annya berpengaruh di bagian besar daerah siria ; (ii) abd Allah ibn mas’ud, yang mushafnya mendominasi daerah kufa; (iii) AbuMusa al-As’ari,yang mushafnya memperoleh pengakuan masyarakat basrah; dan (iv) Miqdqd ibn Aswad (w. 33H), yang mushafnya diikuti penduduk kota hims, tetapi tidak tercantum dalam skema di atas. Di samping itu mushaf ibn Abbas, tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu mendapat perhatian mengingat signifikansinya yang nyata dalam perkembangan kajian al-Qur’an belakangan.

B. Mushaf Ubay ibn Ka’b.
Ubay ibn Ka’b adalah seorang anshar dari bani Najjar, yang masuk Islam pada masa cukup awal dan turut serta dalam sejumlah pertempuran besar di masa Nabi, seperti dalam perang badar dan Uhud. Pengetahuan tulis menulis ysng di kuasainya dengan baik, bahkan sebelum masuk Islam, membuat Nabi menunjuknya sebagai salah seorang seketarisnya begitu tiba di Madinah. Kegiatan Ubay sebagai sfketaris Nabi tidak hanya terbatas tidak hanya sebatas korisponsi, tetapi mencatat wahyu-wahyu yang di terima Nabi.Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu dari empat Sahabat yang disarankan Nabi agar umat Islam mempelajari al-Qur’an darinya,.Dalam beberapa hal, otoritas tentang masalah-masalah al-Qur’qn bahkan lebih besar dari ibn Mas’ud. Selain itu ia juga di kenal sebagai Sayyid al-Qurrq’(“pemimpin para pelafal/penghafal al-Qur’an”).
Mushaf Ubay di kabarkan turut dimusnahkan ketika dilakikan standar disasi teks al-Qur,an pada masa Ustman. Bn abi daud menuturkan suatu riwayat bahwa beberapa orang datang dari Irak menemui putra Ubay,Muhammad, untuk mencari keterangan dalam mushaf ayahnya. Namun ,Muhammad mengungkapkan bahwa mushaf tersubut telah disita Ustman.Dalam kaitannya dengan susunan surat,terdapat perbedaan yang relatif kecil antara mushaf Ubay dengan mushaf Ustman.

C. Mushaf Ibn Mas’ud
Abd Allah ibn mas’ud adalah salah seorang sahabat nabi yang mula-mula masuk Islam. Sebagaimana halnya kebanyakan pengikut awal Nabi, ia berasal dari strata bawah masyarakat Makkah. Setelah masuk Islam ia mengikuti Nabi dan menjadi pembantu pribadinya. Ketika Nabi memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Abisia, ia pergi bersama pengikut awal Islam lainnya ke sana. Setelah hijrah ke Madinah, ia dikabarkan tinggal di belakang masjid Nabawi dan berpartisipasi dalam sjumlah peperangan, seperti dalam perang badar dimana dia memenggal kepala Abu jahal, perang Uhud dan perang Yarmuk. Pada masa pemerintah Umar, in Mas’ud dikirim keKufah sebagai qadli dan kepala perbenda haraan negara (bayt al-mal).Tampaknya pekerjaan sebagai abdi di negara ini tidak berjalan sukses di jalaninya. Pda masa pemerintaahan Usmtman ia di pecat dari jabatannya di Kufah dan kembali ke Madinah serta meninggal di kota ini pada 32H atau 33H dalam usia lebih dari 60 tahun. Menurut versi lain, ia meningal di Kufah dan tidak di pecat dari jabatannya oleh Ustman.
Ibn mas’ud merupan salah satu otoritas terbesar dalam al-qur’an. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah memunkinkannya mempelejari sekitar 70 surat secara langsung dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia meripakan salah seorang yang pertama-tama pengajarkan bacaan al-qur’an. Ia di laporkan seagai orang pertama yang membaca bagian-bagian al-qur’an dengan suara lantang dan terbuka di Makkah. Lebuh jauh sebagai mana telah di singgung , hadist juga mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang dari emopat Sahabat yang di rekomendasikan nabi sebagai tempat bertanya tentang al-qur’an. Otorita dan popularitaasnya dalam al-qur’an memuncak ketika bertugas di kufah, dimana mushafnya memiiliki pengaruhn luas.
Di kufah sendiri, sejumlah muslim menerima keberadaan mushaf baru yang di keluarkan Ustman. Tetepi sebagian besar penduduk kota ini tetap memegang mushaf ibn Mas’ud, yang ketika itu telah di pandang sebagai mushaf orang kufah.karekteristik lsinnysa dari mushaf ibn mas’ud terletak pada susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf Ustmani.

D. Mushaf Abu Musa al-As’ari
Abu Musa al-As’ari, berasal dari Yaman, tergolong kedalam kelompok orang yang masuk islam pada masa awal. Di kabarkan bahwa ia juga berhijrah ke Abisia dan baru kembali pada masa penaklukan khaibar. Setelah itu, ia di beri posisi sebagai gubernur suatu distrik oleh Nabi. Pada 17H, Khalifah Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Basrah. Pada pemerintahan Ustman ia di copot dari jabatan tersebut dan akhirnya di angkat kembali dalam jabatan yang sama di kota kufah. Kitika Usman terbunuh penduduk Kufah menentang ali ibn Abi Thalib, yang memaksa Abu Musa melarikan diri dari kota itu. Ia juga terlibat dalam perang hiffin pada 37H antara Ali dan mu’awiyah, sebagai arbitrator untuk khalifah Ali, tetapi gagal memainkan perannya. Di sinilah akhir aktifitas Abu Musa dalam percaturan politik. dikabarkan ia kembali ke mekkah, lalu ke kufah dan meninggal di sana pada 42 atau 52h.
Abu Musa sejak awal tertarik pada pembacaan Al-Qur’an. Di kabarkan bahwa suara bacaan Al-Qur’annya sangat terkenal di masa nabi, mushaf Al-Qur’an barang kali baru di kumpulkan pada masa Nabi, lalu di selesaikan setelah itu. Ketika menjabat sebagai gubernur Basrah, mushafnya bisa di sebut dan di rujuk dengan nama lubab al-Qulub mulai di terima dan akhirnya dijadikan sebagai teks otoritatif penduduk kota tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya mushaf Abu Mua terlihat tenggelam dan memudar pengaruhnya dengan di terimanya mushaf Ustman sebagai mushaf otoritatif hal ini bisa di lihat kenyataannya hanya sejumlah kecil varian bacaannya yang sampai ketangan kita.

E. Mushaf ibn Abbas
Nama sebenarnya ibn Abbas Abu Al Abbas Abd Allah ibn Abbas,Keponakan Nabi menduduki tempat sangat terkemuka hal ini terlihat dari figurasi dirinya sebagai tarjumah Al-Qur’an, al-bahr dan habr al umah. Nama ibn Abbas mulai menonjol setelah khalifah ustman mempercayakannya memimpin ibadah haji pada 35H, suatu tahun yang menentukan dalam pelajaran politik Ustman. Lantaran hal itulah ia tidak ada di Madinah ketika Usman terbunuh, Pada masa khalifah Ali ia di tunjuk sebagai gubernur Basrah ketika Ali terpaksa menerima arbitrase shuffin. Ia berkeinginan menjadikan ibn Abbas sebagai wakilnya, tetapi di tentang para pengikutnya yang cendrung mewakilkannya Abu Musa al-As’ari. Walau demikian, ibn Abbas menyertai Abu Musa dalam proses arbitrase itudi mana Ali di makzulkan oleh Muawiyah yang akhirnya membangun dinasti umayyah. Nama ibn Abbas sering muncul dalam daftar orang yang mengumpulkan Al-Qur’an pada masa nabi. Salah satu karektaristik mushaf ibn Abbas eksisnya ada dua surat ekstra “surat al-khal dan surat al-hafd”di dalamnya sebagai mana dalam mushaf Ubay dan Abu Musa.Denagn demikian jumlah keseluruhan surat dalam mushaf ibn Abbas adalah sebanyak 116 surat.

Penyempurnaan Ortografi Al Qur’an
A. Karakteristik Ortografi Utsmani
Karakteristik ortografi mushaf utsmani sebagai berikut:
 Penulisan ت sebagai pengganti ة
 Huruf waw (و ) dan ya’(ى) sering di hilangkan, ketika vokal diringkas karena suatu penggabungan kata. Sedangkan huruf alif ( ا ) sebagai huruf vokal, dalam kasus senada, hanya di temukan dalam kata ايها yakni menjadi ايه
 Nunasi (tanwin) ditulis dengan ن dala kata كاين yakni كأين atau كائن , yang membuat derivasi kata tersebut dari menjadi kabur.
 Partikel ya selalu di tautkan pada kasus vokatif, dan lebih menyatu dalam ungkapan يبنؤم ( secara terpisah يا ابن أم )
 Ragam tulis aksara tidak mengenal perbedaan antara konsonan b(ب ), t(ت ), ts(ث), n(ن), dan ya(ي), pada permulaan dan di tengah – tengah suatu kata, atau b(ب ), t(ت ), ts(ث) pada penghujung kata , atau f (ف), dan q(ق) pada peremulaan dan di tengah – tengah kata, serta konsonan – konsonan j (ج), h ( ح ), kh ( خ (,d (د), dz (ذ), r (ر ), z (ز); s (س), sy (ش), sh ( ص ), dl ( ض), th ( ط ), zh ( ظ ), ‘ ( ع ), g (غ)

B. Latar belakang penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Langkah penyeragaman teks yang dilakukan oleh khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, lewat pengumpulan resm Al Qur’annya, terutama sekali dapat dilihat sebagai tonggak awal upaya standardisasi teks maupun bacaan Al Qur’an. Alasan utama yang berada dibalik kodifikasi tersebut – yakni perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah pada perpecahan politik umat islam, demgan gamblang memperlihatkan hal ini. Bentuk scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin Al Qur’an ketika itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam.
Keyakinan – keyakinan keagamaan kaum muslimin khususnya kepercayaan terhadap karakter I’jaz dan kesucian Al Qur’an serta terhadap perhitungan dihari kemudian yang menanti orang – orang yang merusaknya, akan merupakan pencegahan utama terhadap setiap upaya untuk merekayasa dan memaparkan bacaan – bacaan Al Qur’an lewat inisiatif perorangan. Karena itu, pelik membayangkan bahwa seorang muslim yang saleh secara pribadi akan berinisiatif untuk menetapkan huruf –huruf hidup dan konsonan untuk membaca Al Qur’annya sendiri, karena hal ini akan mengakhiri totalitas Al Qur’an sebagai mu’jizat.

Dengan mempertimbangkan ketertariakan kaum muslimin yang sangat kuat terhadap tradisi orang dan ketidak kepercayaan mereka terhdap kata-kata tertulis maka asumsi tentang scriptio plena sebagai “ biang kerok” munculnya berbagai perbadaan bacaan jelas tidak dapat dipertahankan.
Merupakan fakta empiris bahwa tidak satu kitab sucipun selain Al Qur’an yang telah di transmisikan dalam suatu sekala yang sangat luas dan berkesinambungan dari generasi kegenerasi lewat mata rantai perawi yang otoritatif dan sangat qualified menurut penialaian orang – orang yang sezaman dengan mereka. Sama sekali tidak ada alasan bagi generasi – generasi muslim yang belakangan untuk merekayasa bacaan – bacaan Al Qur’an karena mereka memiliki tradisi bacaan Al Qur’an yang kaya, yang di transmisikan dari para sahabat nabi yang menerima langsung dari nabi.
Hadits – hadits yang teruji kesahihannya mengenai tujuh ragam dialectal Al Qur’an juga merupakan bukti bahwa keragaman bacaan mesti dikembalikan kepada keragaman bacaan – bacaan otentik pada masa Nabi, bukan kepada upaya – upaya belakangan untuk mengisi kekosongan dalam mushaf Utsmani yang tidak bertanda baca.
Merupakan kenyataan bahwa para qurra’ yang berasal dari suatu mazhab gramatik tertentu merasa terpaksa mengikuti bacaan yang diajarkan kepada mereka.
Asumsi tentang scriptio defectiva sebagai penyebab munculnya keragaman bacaan mensyaratkan bahwa sebelum introduksi ragam tulis tersebut – yakni sepanjang periode Nabi, para sahabatnya dan generasi berikutnya – Al Qur’an berada dalam keadaan tidak pasti atau tidak tetap semacam limbo. Bentuk konkret kitab suci itu baru dihasilkan setelah penambahan titik – titik diakritis dan tanda – tanda vokal yang terjadi jauh berabad – abad setelah masa pewahyuannya.

C. Penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Ketika domain politik islam semakin luas dan semakin banyak orang non – Arab memeluk Islam, berbagai kekeliruan dalam pembacaan teks Al Qur’an – yang disalin dengan scriptio defectiva – di kalangan pemeluk baru Islam semakin merebak. Akhirnya penguasa politik Islam mengambil keputusan untuk melakukan penyempurnaan terhadap Rasm Al Qur’an, dan langkah actual penyempurnaannya dikabarkan telah dilakukan oleh sejumlah ahli bahasa.
Baru pada masa kekholifahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661 – 680) langkah tersebut mulai dilakukan. Ziyad ibn Samiyah (w. 673), yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Basrah meminta Abu al – Aswad al Du’ali (605 – 688) agar menciptakan tanda-tanda baca dan membubuhkannya dalam mushaf untuk menghindari dari berbagai kekeliruan pembacaan Al Qur’an yang ketika itu semakin massif. Al Du’ali tidak langsung mengabulkan permintaan Ziyad, karena sebagaimana kisah – kisah yang bertalian dengan introduksi hal-hal baru terhadap Al Qur’an, misalnya pada kisah pengumpulan pertama Al Qur’an oleh Zayd ibn Tsabit – takut berbuat bidah. Namun, suatu ketika Al Du’ali mendengar sendiri orang lain keliru membaca bagian Al Qur’an (9:3) berikut:
انّ الله بريء من المشركين ورسوله
Kekeliruan pembacaan ayat ini terletak pada vokalisasi kata rasuluhu menjadi rasulihi yang mengakibatkan perubahan makna sangat substansial terhadap bagian Al Qur’an diatas. Ketika Al Qur’an itu dibaca benar sebagai rasuluhu maka maknanya adalah : “ sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang – orang yang musyrik “ tetapi, ketika kata itu di pelintir menjadi rasulihi, maka maknanya akan berubah menjadi : “sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya. “
Melihat kekeliruan yang sangat fatal ini Al Du’ali lalu menghadap ziyad dan menyanggupi permintannya untuk melakukan penyempurnaan terhadap rasm Al Qur’an. Ia kemudian memprkenalkan tanda –tanda vocal yang penting yakni titik diatas huruf ( . ) untuk vocal a (fatahah), titik di bawah huruf (-.-) unutk vocal I ( kasroh ), titik di sela – sela atau di depan huruf (._ ) unutk vocal u (dhammah ), dua titik untuk vocal rangkap (tanwin ) dan unutk konsonan mati (sukun ) tidak di bubuhkan tanda apapun. Tanda – tanda vocal ini dalam penulisan mushaf di beri warna yang berbeda dari warna huruf – hurufnya. Menurut sebagian riwayat tidak seluruh huruf dalam mushaf di beri tanda vocal. Tanda – tanda ini hanya di cantumkan pada huruf – huruf terakhir tiap kata atau pada huruf – huruf tertentu yang memungkinkan terjadinya kekeliruan bacaan.
Pada masa kekhalifanhan Abbasiyah tanda – tanda vocal yang diciptakan Al Du’ali kemudian disempurnakan oleh Al Khalil Ibn Ahmad (718 – 786). Yang dilakukan Al Khalil adalah membubuhkan huruf alif (ا ) kecil diatas huruf untuk tanda vokal a, huruf ya’ ( ى ) kecil dibawah unutk vokal I, huruf wawu ( و ) kecil didepan huruf untuk tanda vokal u , menggandakan tanda – tanda vokal ini untuk melambangkan vokal rangkap (tanwin ) membubuhkan kepala huruf ha’ ( ) diatas huruf untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan rangkap (syaddah ) di tempatkan kepala huruf sin ( ) di atasnya.
Pada masa pemerintahan Abd al Malik ibn Marwan (658 – 705) dari dinasti ummaiyah, gubernur irak, al Hajjaj ibn Yusuf ( W 714) menugaskan Nashr ibn Ashim ( W 708) dan Yahya ibn Ya’mur (w.747) – keduanya adalah murid Al Du’ali – untuk melanjutkan pekerjaan gurunya menyempurnakan aksara arab, khususnya dalam mengupayakan pembedaan konsonan bersimbol sama di dalam bahasa arab.
Upaya pemberian titik – titik diakritis untuk membedakan symbol – symbol konsonan yang memiliki perlambangan senada debagai berikut: kerangka konsonan ح supaya bisa di baca Kha’ (kh), diberi satu titik diatasnya ( خ ( atau satu titik di bawahnya ( ج ) untuk melambangkan konsonan jim (j) dan konsonan dasar yang tidak bertitik ( ح ) sebagai konsonan ha’ (h). symbol konsonan di beri a\satu titik di atasnya ( ن) untuk melambangkan konsonan nun (n ), atau dua titik diatasnya ( ت ) untuk huruf mati ta (t), atau tiga titik diatasya ( ث ) untuk konsonan tsa’ (ts), serta titik di bawahnya ( ب ) untuk konsonan ba (b) atau dua titik dibawahnya (ي ) untuk huruf ya (y). symbol konsonan و di beri titik diatasnya ( ف ) untuk melambangkan konsonan fa (f), atau dua titik di atasnya (ق) untuk konsonan qaf (q), sementara konsonan waw (w) tidak diberi titik (و). Demikian pula, dua huruf mati yang berbeda tapi dilambangkan dengan symbol senada, salah satunya di bubuhi titik – titik diakritis untuk membedakannya: dal (d) tanpa titik (د), dzal (dz) diberi titik diatasnya (ذ) ; ra (r) tanpa titik (ر ), za (z) diberi datu titik diatasnya (ز); sin (s) tanpa titik (س), syin (sy) di beri tiga titik diatasnya (ش). Titik diakritisi ini di warnai dengan tinta yang sama uintuk menulis huruf, sehingga bisa dibedakan dari titik yang di introduksi Al Du’ali untuk vokalisasi teks.

Unifikasi Bacaan AL Qur’an
A. Asal Usul keragaman Bacaan Al Quran
Gagasan tentang latar belakang kemunculan variae lectiones semacam ini, dalam kenyatannya bukanlah hal baru di dalam Islam. Sebagaimana di kemuklakan al Jazairi, Ibn Abi Hasyim pernah mengungkapkan pandangan bahwa sebab terjadinya perbedaan bacaan dalam tradisi kiraah tujuh dan tradisi-tradisi bacaan diluarnya adalah bahwa dikawasan – kawasan utama Islam yang memperoleh kiriman salinan mushaf Utsmani telah berdiam para sahabat Nabi. Yang darinya masyarakat wilayah tersebut mempelajari bacaan Al Qur’an. Karena salinan – salinan mushaf yang dikirim Utsman ditulis dalam scriptio defectiva maka masyarakat tiap wilayah itu tetap membaca mengikuti bacaan yang mereka pelajari dari para sahabat nabi, sepanjang persesuaian dengan teks Utsmani. Sementara yang tidak bersesuaian dengannya di tinggalkan.
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa perbedaan – perbedaan dalam pembacaan Al Qur’an telah eksis di kalangan para sahabat Nabi, karena Al Quran di wahyukan dalam tujuh ahruf. Tetapi sejumlah besar sarjana muslim, selama berabad - abad telah berupaya menjelaskan apa yang diamaksud dengan ungkapan sab’ah ahruf dalam riwayat – riwayat tersebut.
Sebagian sarjana muslim menjelaskan pengertian sab’ah ahruf dengan al abwab al sabah (tujuh gerbang atau segi) yang dengannya Al Qur’an turun. Ketujuh segi ini bertalian dengan perintah, larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah masyarakat terdahulu, dan perumpamaan. Ketujuh segi itu juga di beri kandungan lain yaitu: perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan perumpamaan. Penjelasan ini, sekalipun didasarkan pada beberapa riwayat jelas bertabrakan dengan hadits – hadits tentang tujuh ahruf yang menyiratkan tentang perbedaan pembacaan Al Qur’an sebagai kemudahan kaum muslimin, lantaran ketidak mampuan mereka membacanya dalam satu huruf. Jika perbedaan d kalangan sahabat menyangkut hal – hal yang dijelaskan dalam kandungan abwab al sabah, maka nustahil bagi Nabi untuk menjustifikasi perbedaan – perbedaan tersebut, karena bisa terkontradiksi antara satu dengan lainnya: yang halal bagi suatu bacaan bisa menjadi haram bagi bacaan yang lain yang diperintahkan bisa menjadi terlarang, yang muhkam bisa menjadi mutsyabih, atau sebaliknya, dan seterusnya.
Pemaknaan tujuh ahruf berikutnya adalah tujuh dialek (lahjah) yang berbeda yakni dialek Quraisy, Huzhail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Menurut penjelasan ini jika ketujuh dialek tersebut berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka Al Qur’an diturunkan dengan sejumlah lafazd yang sesuai dengan dialek – dialek tersebut. Tetapi bila tidak terdapat perbedaan maka Al Qur’an diturunkan dengan satu lafazd. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa pewahyuan dalam ketujuh dialek bermakna Al Qur’an secara keseluruhannya tidak keluar dari ketujuh dialek tersebut meskipun sebagian besarnya dalam dialek Quraisy, sebagian lagi dalam dioalek Huzhail, dan seterusnya.

B. Unifikasi Bacaan Al Qur’an
Upaya standardisasi teks Al Qur’an pada masa Utsman, dalam kenyataanya, juga mengarah pada unifikasi bacaan Al Qur’an. Dengan eksistensinya teks yang relative seragam, pembacaan Al Qur’an yang di pijakkan teks tersebut tentunya akan meminimalkan keragaman. Tetapi lantaran aksara yang digunakan ketika itu untuk menyalin mushaf Utsmani yakni srciptio defectiva belum mencapai tingkatan yang sempurna, keragaman bacaan masih tetap mewarnai sejarah awal kitab suci kaum muslimin. Keragaman ini juga bisa dikaitkan dengan hafalan –hafalan materi Al Qur’an lama yang ketika dilakukan standardisasi teks dan pemusnahan mushaf – mushaf non Utsmani tidak dapat dihilangkan begitu saja dari benak para qurro’ dan kemungkinan baru bisa di capai setelah adanya penggantian atau alih generasi.
Pemusnahan seluruh bentuk teks non Utsmani hingga taraf tertentu tidak mungkin menghilangkan keseluruhan tradisi pembacaanya. Hal ini hanya bisa menjadi kenyataan jika pembacaan teks Utsmani diakui memiliki karakter meningkat. Upaya standardisasi yang dilakukan Utsman atupun pada masa berikutnya oleh al Hajjaj bukannya tanpa rintangan. Sebagaimana telah ditunjukkan dua sahabat terkemuka Nabi yang kumpulan Al Qur’annya memiliki pengaruh yang sangat luas di kalamgan kaum muslimin yang awal yakni ibn Masud dan Abu Musa Al Asy’ari terlihat tidak menyepakati kebijakan Utsman dan menolak memusnahkan mushaf mereka. Generasi muslim berikutnya yang mengikuti kedua jejak sahabat nabi tersebut masih tetap memelihara bacaan – bacaan non Utsmani. Bahkan hingga abad ke – 10, penulis fihrist Ibn Al Nadlim melaporkan bahwa ia telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri salinan – salinan Mushaf Ubay Ibn Ka’ab dan Inb Mas’ud. Tetapi lantaran tekanan politik dan berlalunya masa rintangan – rintangan terhadap upaya standardisasi teks dan bacaan Al Qur’an berangsur – angsur melemah hingga akhirnya menghilang dari percaturan sejarah Al Qur’an.
Ketika Utsman dan Al Hajjaj secara radikal mencabut akar pertikaian keragaman teks dan bacaan Al Qur’an penentang – penentang standardisasi Al Qur’an mulai melemah dan beralih kepada posisi yang toleran terhadap keragaman teks dan bacaan kitab suci tersebut. Pada paruhan pertama abad ke 2 H juga muncul upaya untuk mempertegas keragaman bacaan Al Qur’an oleh Isa Ibn Umar Al Tsaqafi ( w. 149H) memiliki system bacan Al Qur’an sendiri. Ia berusaha memperkenalkan ragam bacaan itu lebih selaras dengan citra rasa kebahasaan, sekalipun bacaan itu tidak terdapat dalam tradisi kiraah yang lazim. Namun ia memperoleh tantangan keras karena pada abad itu mulai muncul gerakan yang sangat kuat untuk membatsi kebebasan dalam penbacaan Al Qur’an yang di pelopori oleh Imam Malik.
Proses unifikasi bacaan terjadi dalam 2 etape: pertama unufikasi bacaan didalam satu wilayah ( Mishr ), kedua unifikasi bacaan antara wilayah – wilayah
Qiraat Tujuh dan perawinya
No Wilayah Qari’ Rawi I Rawi II
1 Madinah Nafi’ Warsy Qalun
2 Makkah Ibn Katsir Al Bazzi Qanbul
3 Damaskus Ibnu Amir Hisyam Ibn Dakhwan
4 Basrah Abu Amr Al Duri Al Susi
5 Kufah Ashim Hafsh Syu’bah
6 Kufah Hamzah Khalaf Khalad
7 Kufah Al Kasai Al Duri Abu Harits
Tiga Imam setelah qiraah tujuh
No Wilayah Qari’ Rawi I Rawi II
1 Madinah Abu Ja’ far Isa Ibn Jammaz
2 Basrah Ya’qub Ruways Ruh
3 Kufah Khalaf Ishaq Idris
Empat Imam setelah sepuluh
No Wilayah Qari’
1 Makkah Ibn Muhaisin
2 Basrah Al Yazidi
3 Basrah Al Hasan Al Basri
4 Al A’masy
Eliminasi berbagai bentuk penyimpangan terhadap mushaf Utsamani ini hanya meupakan salah satu dari proses – proses ke arah unifikasi teks dan bacaan Al Qur’an. Faktor yang mempengaruhi proses tersebut adalah prinsip mayoritas. Hal utama yang disepakati dalam proses unifikasi ini dilihat dari karakteristik tulisan adalah titik – titik diakritis untuk kerangka – kerangka konsonan yang sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar